LAYANAN SUPRANATURAL SONGGO BUWONO

__________________________________________________________
Bagi anda yang mempunyai permasalah pribadi /keluarga, Kami siap membantu kesulitan yang anda hadapi.
Sukses dalam Bussiness, Karier / Jabatan, Pangkat, Pengasihan Tingkat Tinggi, Enteng Jodoh, Rejeki, Ruwatan, Bedah Aura Diri/ Anak, Kewibawaan, Gangguan Ghaib. Dll.
Hot Line Service: 081227272345 - 08125999929

Email: bunda_lia_herminputri@yahoo.co.id
songgo_buwono@yahoo.co.id
__________________________________________________________

PRESS RELEASE

________________________________

07 February 2008

Dapatkah Keluarga Cendana Bertahan ?

Press Release
Jogjakarta, 7 Februari 08
Lia Hermin Putri
Pimpinan Sanggar Supranatural
SONGGO BUWONO

Sepeninggal Pak Harto
Dapatkah Keluarga Cendana Bertahan ?






Seperti yang pernah saya katakan pada siaran pers sebelumnya, dimana robohnya Pohon Pule Kramat se akar-akarnya yang berada di Sendang Beji, pesisir Pantai Selatan Gunung Kidul. itu merupakan tengara runtuhnya ‘Dinasti Soeharto’. Terbukti, selang beberapa hari Pak Harto masuk rumah sakit dan wafat. Kini tinggal anak cucu Pak Harto yang berada pada posisi telur di ujung tanduk.
Akankah mereka mampu menyelamatkan diri dari ancaman yang bakal datang dari berbagai lini sepeninggal orang tuanya tersebut ? Hal ini agaknya yang menjadi gunjingan hangat pasca wafatnya Pak Harto.
Dapat saya pastikan, jika Keluarga Candana (anak cucu Pak Harto) tidak tanggap atas tengara alam, jelas mereka akan tergulung habis. Karenanya, keluarga cendana harus lebih jeli dan waskito terhadap tanda-tanda alam.
Sesungguhnya masih ada kekuatan yang bisa dijadikan sebagai andalan untuk menyelamatkan nama besar Cendana. Keluarga tersebut masih memiliki dua tokoh perempuan. Satu diantaranya adalah Halimah. Saya katakan Halimah, karena dia memiliki kharisma yang tinggi. Walau dia hanya seorang menantu, semasa Bu Tin masih hidup, dia sering mendapatkan petuah dan amanat dari mertuanya itu. Boleh dibilang Halimah adalah “pusaka” bagi keluarga cendana. Karenanya, menjadi kesalahan besar jika Keluarga Cendana mencampakkan Halimah.
Sedangkan tokoh yang satunya adalah Siti Hardiyanti Rukmana (Mba Tutut). Dari kasat mata sudah terlihat, kalau Tutut memiliki bakat kepemimpinan dan juga memiliki pengalaman politik yang cukup karena di saat Pak Harto masih hidup dalam usia tua beliau banyak waktunya digunakan untuk memberi petunjuk kepada Mbak Tutut.
Jadi kedua wanita inilah (Halimah yang memiliki dasar kecerdasan spiritual dan Mba Tutut memiliki kecerdasan intelektual) yang bisa diharapkan untuk menyelamatkan keutuhan Keluarga Cendana. Sudah barang tentu kesemuanya ini melalui proses yang tidak mudah.
Untuk membangkitkan nama besar yang kini kian terpuruk memang tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Perlu perjuangan dan pengorbanan, serta keseriusan yang mendasar. Kekuatan politik dapat dijadikan sebagai salah satu sarana untuk memagari bahkan dapat memulihkan nama besar Keluarga Cendana.
Namun, kekuatan politik yang dibangun, haruslah berpihak kepada rakyat. Dengan kata lain, semampu mungkin kekuatan politik yang dibangun harus berkoridor kepada pengembalian hak-hak rakyat. Saya mengistilahkan koridor ini sebagai “Tali Wangsul”. Dan hal ini harus betul-betul dijalankan oleh Keluarga Cendana untuk menebus janji mendiang Pak Harto yang ingin mensejahterakan Rakyat Indonesia. “Tali Wangsul” harus dilakukan, karena hal itu bermakna kepada kekuatan moral dan spiritual serta membangkitkan kembali aura Cendana yang kian meredup.
Sudah barang tentu dalam melakukan “Politik Tali Wangsul”, Keluarga Cendana harus jeli dalam memilih kawan seperjuangannya, juga harus berani menciptakan lingkungan yang sehat dalam melakukan hal tersebut.
Menurut hemat saya, lengsernya Pak Harto kala itu dikarenakan para kroninya yang memegang prinsip ABS (Asal Bapak Senang). Hal inilah yang kemudian Pak Harto terjerembab ke dalam lingkungan yang tidak sehat. Sehingga Pak Harto tidak mengetahui kondisi yang terjadi sebenarnya, kemudian beliau pun menjadi alat bagi para kroninya. Jelas ini merupakan suatu pelajaran bagi siapapun. Jangan sampai peristiwa semacam ini kembali terulang dalam tata kepemimpinan Bangsa Indonesia.
Allah Maha Pengampun, dan Allah juga Maha pemberi jalan. Karenanya, tak mustahil pula bagi Keluarga Cendana jika mereka ingin menebus apa yang dianggap suatu kesalahan yang pernah dilakukan oleh Soeharto dalam memimpin negeri ini, niscaya Allah akan memberikan jalan yang terbaik bagi mereka. Amin ya Robbal Alamin.

Bencana di tahun 2008 dan Wahyu Semar milik Pak Harto

Masuk kepada tahun 2008, negeri ini masih mengalami bencana alam yang tergolong besar. Bencana kecil maupun besar akan terjadi di bulan Maret – November, kondisi alam masih kurang bersahabat. Hal ini sangatlah wajar, karena jauh sebelumnya manusia kian menzolimi alam tempat dimana dia berpijak.
Sebagai manusia, sebetulnya kita dapat menghalau bencana yang bakal terjadi. Tentunya dengan cara menghargai alam itu sendiri. Dan yang lebih penting, kita harus sering memberi uluk salam kepada Allah yang menciptakan dan berkuasa atas alam-Nya.
Terkadang, kebanyakan orang bertanya-tanya, mengapa di saat ini Indonesia sering mengalami bencana alam, sedangkan di masa pemerintahan Soeharto, bencana alam jarang terjadi. Dalam hal ini saya coba untuk berpendapat, Seperti yang kita kenal, sebagai seorang pemimpin, Pak Harto selalu menjaga dan mengikuti rambu-rambu alam. Beliau masih menjalankan adat dan tradisi nenek moyang. Dimana adat dan tradisi tersebut, jelas-jelas memiliki pesan moral yang sangat luhur serta bermakna ramah lingkungan. Dengan demikian boleh dibilang, Pak Harto sering menyapa alam.
Melihat hal tersebut, agaknya prilaku Pak Harto yang demikian dapat dijadikan sebagai salah satu pelajaran bagi para pemimpin negeri ini. Agar bangsa ini lepas dari cengkeraman bencana, maka dibutuhkan seorang pemimpin yang ramah dan selalu menyapa alam dengan cara melakukan adat dan tradisi nenek moyang yang sudah ada.
Di samping itu, pemimpin harus memiliki karakter Tutur, Sembur, Uwur.
Jika kita melupakan hal tersebut entah bagaimana nasib bangsa ini ke depan….. Allahu Alam.
“Berusahalah ‘Menikahi’ Alam, Maka Akan Beranak Kedamaian” Amin Allahuma Amin.

Wahyu Semar
Ada beberapa fenomena alam yang kita lihat saat mengiringi kepulangan Pak Harto ke kepangkuan-Nya, Gempa berkekuatan 5,7 SR terjadi di wilayah Jogja dan sekitarnya, Hujan lebat yang dibarengi dengan angin kencang di seputar Hastana Giri Bangun dan beberapa fenomena alam lainnya terjadi. Tak dapat dipungkiri bahwa Pak Harto memang merupakan seorang linuwih dan merupakan bagian dari kekuatan alam.
Mengapa demikian ? karena Pak Harto telah berusaha menyatu dengan alam. Di masa hidupnya beliau rajin menjalani laku spiritual. Dengan kekuatan laku beliaulah kemudian Pak Harto memiliki banyak keistimewaan dalam segi ilmu spiritual.
Menurut mitologi masyarakat Jawa, Semar adalah tokoh besar yang memiliki kemampuan untuk mengemban negeri. Dan Suharto telah mendapatkan Wahyu Semar tersebut. Sampai ajal menjemput, Wahyu Semar yang didapat Suharto dari hasil tirakatnya di Gunung Srandil, Jambe Pitu, Cilacap Jawa Tengah itu masih melekat, bahkan ikut bersemayam di makam Hastana Giri Bangun. Wahyu ini tidak akan meninggalkan Suharto sebelum ada orang yang pantas menerimanya.
Anehnya, saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan sambutan pada acara pemakaman Pak Harto di Hastana Giribangun, Karanganyar Jawa Tengah, guratan wajah Presiden SBY terkesan mirip dengan wajah Pak Harto. Menurut hemat saya, fenomena yang terjadi pada SBY merupakan gambaran dari nitiknya Wahyu Semar yang dimiliki pak Harto kepada SBY. Namun Wahyu Semar tersebut baru nitik, belum nitis. Yang jelas Wahyu Semar masih belum beranjak dari Suharto. Butuh tabung pelontar / wadah nyata untuk mapannya wahyu tersebut.
Berkaitan dengan hal itu, di antara bulan Maret sampai dengan September saya akan berusaha untuk ‘memerdekakan’ wahyu yang masih bersemayam tadi, dan nantinya akan manjing kepada seseorang yang berhak dan patut menyandangnya.
Beda halnya dengan Tusuk Konde milik Kanjeng Ratu Kidul yang pernah di dapat oleh Bu Tien dari Makam Mbang Lampir, Gunung Kidul, kini telah kembali ke tempat asalnya ke Mbang Lampir. Sebagai catatan, Tusuk Konde tersebut adalah Wahyu Keprabon yang diberkahi oleh Kanjeng Ratu Kidul kepada mereka yang dipilihnya.
Perlu saya sampaikan sekali lagi. Yang berhak menerima Wahyu Semar adalah orang yang memiliki ciri dan kriteria tertentu. Dari ciri tersebut diantaranya adalah kesatria yang memiliki karakter Tutur, Sembur dan Uwur. Dan mereka sangat bertanggung jawab atas kelangsungan kultur serta budaya bangsa ini.