LAYANAN SUPRANATURAL SONGGO BUWONO

__________________________________________________________
Bagi anda yang mempunyai permasalah pribadi /keluarga, Kami siap membantu kesulitan yang anda hadapi.
Sukses dalam Bussiness, Karier / Jabatan, Pangkat, Pengasihan Tingkat Tinggi, Enteng Jodoh, Rejeki, Ruwatan, Bedah Aura Diri/ Anak, Kewibawaan, Gangguan Ghaib. Dll.
Hot Line Service: 081227272345 - 08125999929

Email: bunda_lia_herminputri@yahoo.co.id
songgo_buwono@yahoo.co.id
__________________________________________________________

PRESS RELEASE

________________________________

26 August 2006

Luapan Lumpur Panas Lapindo Perlu Teraphy Supranatural

Press Release
Lia Hermin Putri
Pimpinan Sanggar Supranatural Songgo Buwono
081578802666

Sungguh mengenaskan peristiwa luapan lumpur panas PT. Lapindo Brantas yang kian hari semakin meningkat debit Lumpur yang keluar dari “Sumur Petaka” itu.
Kini tiga kecamatan telah tergenang Lumpur panas, bisa jadi kedepan akan bertambah dan terus bertambah meluas genangan Lumpur panas tersebut. “Masya Allah….”
Sepertinya peristiwa ini bukan sekedar disebabkan oleh kesalahan teknis semata, namun ada hal di balik peristiwa tersebut. Yang jelas sekarang memang masanya Kalatidha, dimana bencana yang tak terduga terus melanda manusia. Alam geram melihat dan merasakan perilaku manusia yang telah melupakaNya. Akibatnya, manusia jugalah yang merugi. Kembali saya tegaskan, Alam adalah Ibu Pertiwi yang harus di jaga, dihormati dan dihargai secara lahir maupun bathin karena ini adalah amanat yang mesti kita jaga dan kita rawat-rumat -ruwat agar kita tidak termasuk pada golongan orang-orang yang merugi seperti yang terjadi sekarang ini bencana datang silih berganti dan tanpa kita sadari, hanya sekejap mata saja Allah telah menunjukkan Kekuasaan Nya. Maha Suci Allah, maka dengan acara yang akan kita gelar pada Tgl. 7 September 2006 ini untuk memohon ampun dan petunjuk dari Allah. Agar kita diampuni atas dosa dan kesalahan yang kita perbuat selama di dunia atas amanat Allah dengan Bumi Pertiwi ini yang tanpa kita sadari kita telah berbuat aniaya. Mari kita bersama-sama ikut dalam acara Ritual dan Do’a Akbar ini demi Cinta terhadap Bangsa Indonesia, kita sebagai manusia segera ingat akan jati diri dan atas Alam ini. Marilah kita bersama-sama bersatu pada Hari Kamis tgl. 7 September 2006 di Parangkusumo-Parangtritis untuk Do’a bersama. Agar kita segera diberi Pengampunan dan tidak ada lagi Bencana yang akan melanda Bangsa Indonesia.

Kembali kepermasalahan Lumpur Lapindo, semakin banyaknya luapan lumpur yang keluar, akan mengakibatkan sebagian isi perut bumi menjadi kosong. Jika gempa bumi berskala besar kembali terjadi, maka bumi akan mudah terbelah dan tenggelam atau ambrol ke bawah. Ini adalah salah satu kekuasaan Allah atas Ala ini.
Menurut pandangan spiritual Lia Hermin Putri (36) Lapindo ada kaitannya dengan Penguasa Laut Utara yang merasa tidak diopeni, sementara manusia terus memanfaatkan wilayah kekuasaannya. Sebagai catatan, Porong --- tempat asal luapan Lumpur Panas tersebut--- merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Laut Utara, dan penguasa Laut Utara tersebut adalah Dewi Lanjar.
Kini permasalahannya semakin jelas, jika upaya penyumbatan Lumpur tersebut hanya dilakukan dengan cara teknis atau dengan teknologi manusia saja akan menjadi sulit, karena hal tersebut sudah berkaitan dengan alam di luar kemampuan manusia (kekuatan ghoib) yang ikut menjadi sebab mengapa peristiwa itu terjadi. Ini berarti perlu adanya pendekatan dengan penguasa Laut Utara. Sedangkan untuk melakukan pendekatan tersebut dibutuhkan suatu Ritual secara khusus dan melakukan Do’a bersama yang melibatkan semua pihak. Demi semua pihak dan untuk masyarakat pada umumnya.
Kini Sanggar Supranatural Songgo Buwono mengajak seluruh lapisan Masyarakat dan semua Pihak yang terkait agar hadir dalam Do’a dan Ritual Akbar di Parangkusumo-Parangtritis, demi kepentingan kita semua agar segera berhenti Bencana yang melanda Bangsa Indonesia tercinta ini. Mari kita sama-sama berusaha dalam Do’a memohon Ampunan Nya.
Allah maha kuasa, namun Allah-pun telah memberikan kuasa kepada mahluknya untuk merawat dan merumat bumi ini. Allah juga maha pengampun, dan yakinlah, Atas Ampunan-Nya kita akan terhindar dari segala mara bahaya. Ritual dan permohonan Do’a inilah yang akan membawa kita kepada keselamatan di Dunia. Amin Allahumma Amin.

21 August 2006

Antara Bencana dan Perjanjian Sakral Tempo Dulu

“Budaya, Adat dan tradisi”. Agaknya jika di lihat sepintas merupakan hal sepele jika dibandingkan dengan permasalahan politik yang seolah-olah dapat dijadikan kendaraan guna mencapai tujuan suatu bangsa atau Negara. Namun sesungguhnya budaya, adat dan tradisi justeru merupakan hal pokok bagi setiap umat, kelompok atau bangsa sekalipun. Karenanya sangat dibutuhkan upaya untuk melestarikan budaya,adat dan tradisi sebagai elemen penopang kelestarian umat manusia.
Mungkin masih banyak orang yang tidak menyadari, apa sesungguhnya di balik bencana alam yang terus menimpa. Sudah berulang kali saya mengingatkan, kita tidak boleh meninggalkan adat, budaya dan tradisi yang sudah ada sebelum kita lahir. Karena hal tersebut merupakan ‘kitab tak tertulis’ yang patut di jaga dan dilestarikan.
“Ingat, sejarah masa lalu sangat menentukan peristiwa masa kini dan masa datang’. Demikian pula bencana alam yang terjadi, jelas terkait dengan peristiwa masa lalu dan perjanjian-perjanjian sakral yang dilakukan oleh para pendahulu kita. Seperti halnya perjanjian antara Kanjeng Ratu Kidul dengan Panembahan Senopati sebagai ihwal berdirinya Kerajaan Mataram. Pada intinya Kanjeng Ratu Kidul mengiyakan berdirinya kerajaan Mataram Islam Namun harus berkulitkan jawa dalam artian tidak meninggalkan adat dan tradisi yang sudah ada. Dengan kata lain, Pembauran antara Islam dengan jawa harus berupa proses akulturasi sehingga adat atau tradisi yang sudah ada tidak kehilangan akar oleh peradaban yang baru. Sementara saat ini cenderung kepada peristiwa asimilasi yang berupaya mencabut akar yang sudah ada sebelumnya.
Demikian pula dialog yang terjadi antara Sabdopalon dan Syekh Subakir yang pada akhirnya tercipta kesepakatan bahwa tanah jawa (sepenuhnya) akan dikembalikan setelah 500 tahun berlalu. Peristiwa dialog antara ‘tokoh’ Majapahit dan tokoh Islam tersebut terjadi di saat transisi Kerajaan Majapahit - Demak. Dan (kurun waktu 500 tahun) telah berlalu, janji belum dipenuhi. Saat inilah waktunya untuk menagih janji.
Menurut hemat saya, bencana alam dan peristiwa yang terjadi saat ini jelas berkaitan dengan peristiwa silam. Wajar jika para tokoh supranatural meramalkan bakal ada bencana besar di sana sini. Seperti halnya Permadi yang mengatakan Jakarta akan terapung, Mama Lauren juga mengatakan kalau madura akan tenggelam. Namun menjadi naif jika para supranatural hanya meramalkan bencana yang bakal terjadi tanpa memberikan solusi yang jelas. Ada akibat, pasti ada sebabnya. Jika sudah mengetahui sebabnya, maka harus bisa mengantisipasi akibat peristiwa yang bakal terjadi.
Peristiwa lalu, seperti halnya perjanjian-perjanjian sacral yang saya sebutkan di atas merupakan bagian dari sebab peristiwa kini dan mendatang. Dengan demikian, meluluskan janji sacral tempo dulu dapat dijadikan pengobat atau upaya untuk mengantisipasi terjadinya akibat tersebut. Namun jika hal itu tidak dilaksanakan, lihat saja nanti akan terjadi peristiwa yang lebih parah dari apa yang diramalkan para supranatural.
Bencana yang menimpa saat ini baru merupakan awal dari derita umat manusia yang sudah sekian lama lepas dari bingkai kemanusiaannya. Arogansi, nggegemongso angkoromurko menjadi hal terdepan untuk mencapai ambisi, sementara sifat kearifan tak lagi menjadi landasan untuk melakukan segala perbuatan.
Masih berkaitan dengan perjanjian sacral masa lalu, saya menangkap isaroh yang sangat mengerikan. Di bulan Agustus sampai Desember bakal terjadi keangkaramurkaan alam yang demikian dahsat. Dan saya tak perlu mengatakan hal apa dan daerah mana yang akan tertimpa bencana tersebut. Yang lebih penting kita memohon ampunan-Nya dan mengisi waktu singkat ini untuk bertaubat.
Seperti yang telah saya katakana, therapi antisipasi bencana masih mungkin dilaksanakan setelah kita mengetahui sebab dari akibat yang bakal terjadi. Seperti halnya Mataram harus segera ‘nglungsungi’ kulitnya dan kembali kepada kulit asal untuk melindungi isi badan Mataram yang hakiki. Bersama dengan masyarakat yang peduli akan hal itu, Kami Sanggar Supranatural Songgo Buwono selalu berusaha untuk memohon ditundanya prahara yang mengerikan itu.
Berbicara masalah antisipasi, jauh sebelumnya saya telah mengatakan perlu adanya upacara sacral akbar, yakni meruwat dan merawat bumi pertiwi. Kami pernah mengadakan seminar sehari tentang Ruwat Bumi Pertiwi pada tanggal 27 Mart 2006 di Pendopo Rumah Dinas Bupati Bantul. Kami telah memaparkan bahwa akan terjadi musibah besar, seperti halnya krisis Merapi dan bencana alam lainnya akan terjadi. Hal itupun kini terbukti. Peristiwa telah terjadi, biarlah terjadi. Namun kita harus bijak dan mengambil sikap untuk mengantisipasi (menunda,meminimalisasi, jika memungkinkan mencegah) terjadinya bencana di bumi pertiwi ini. “Tak bisa di tawar-tawar lagi, Meruwat dan merawat Bumi Pertiwi merupakan koridor untuk melakukan terapi keselamatan Bumi Pertiwi”
Dlam upaya teraphi pencegahan bencana sekaligus pemulihan pasca bencana, pada tanggal 31 Juli 2006 (Hari Senin malam Selasa Kliwon) Sanggar Supranatural Songgo Buwono akan melakukan ritual. Ritual tersebut bertempat di Parang Kusumo dan Cepuri. Untuk Itu Bunda Lia Hermin Putri mengajak segenap masyarakat untuk melakukan Do’a bersama sesuai keyakinan masing-masing agar ritual dan permohonan Do’a dapat terlaksana dengan baik. Sehingga apa yang kita inginkan dapat terkabul, yakni memohon Bumi Mataram-Jogjakarta terhindar dari bencana seperti yang telah di ramalkan, dan dapat segera pulih dari bencana yang telah menimpa di masa lalu. Imminent

TUMBAL TANAH JAWA

Press release

Lia Hermin Putri

Sanggar Supranatural Songgo Buwon

Hp. 081578802666



Pada hari Senin Tgl.31 Juli 2006 Songgo Buwono menggelar acara Do’a bersama untuk mencegah agar tidak lagi terjadi bencana di wilayah Pulau Jawa. Pada Pkl. 13.00 WIB sampai Pkl. 16.30 WIB, di Sanggar Supranatural Songgo Buwono, Ibu Idham Samawi (istri Bupati Bantul) membagikan beras, mi instan,telur dan daging kambing kepada seluruh masyarakat yang kurang mampu di wilayah Parangtritis – Mancingan dibantu oleh anggota Songgo Buwono, dengan tujuan Kurban. Acara itu juga masih berkait dengan acara ritual dan do’a bersama.

Pada hari itu juga, selisih beberapa jam, di Sanggar Songgo Buwono diwarnai kesibukan para anggota maupun penduduk setempat menyiapkan 21 Tumpeng dengan 7 jenis nama tumpeng yang berbeda. Tumpeng Kendit, tumpeng Agung, tumpeng Slamet, tumpeng Rosul, tumpeng Kencono, tupeng Tulak, tumpeng Songgo Buwono setiap tumpeng memiliki arti sendiri – sendiri.seperti tumpeng Kendit yang memiliki arti dan tujuan untuk Leluhur agar tetap menjangkung dan merangkul kita semua,tumpeng Agung untuk keslamatan Raja atau pimpinan agar selamat, sejahtera-adil dan bijaksana dalam bertindak sehingga dapat menjadi contoh bagi rakyatnya, tumpeng Slamet untuk keslamatan Negri tercinta, tumpeng Rosul untuk mengigatkan bahwa kita umat beragama agar tetap menjalankan perintah Allah SWT atas petunjuk Nabi besar Muhammad SAW, tumpeng Kencono untuk menciptakan Negri ini agar segera pulih dari berbagai kericuhan menjadikan Bumi Keemasan, tumpeng Tulak untuk menolak berbagai Kala baik Bencana alam atau sesuatu yang tidak kita inginkan, tumpeng Songgo Buwono yang artinya sangga bumi untuk mengingatkan pada seluruh rakyat agar mengingat Tradisi dan Budaya Leluhur bahwa Bumi yang kita pijak ini harus selalu dijaga karena ini adalah amanat Allah SWT.

Tujuh macam jenis tumpeng tiap jenis ada 3 yang punya arti sangat peka dan sacral. Mengapa harus ada 3 rakit dan tertuliskan Gunung Lawu, Gunung Merapi, dan Laut Selatan? Lia Hermin Putri, Pimpinan Songgo Buwono menerangkan ; Tujuh mecam jenis tumpeng dan masing-masing di buat sebanyak tiga rakit itu melambangkan Mataram dijangkung oleh tiga titik kekuatan yakni Gunung Lawu, Merapi dan Laut Selatan. Dan dalam perjanjian leluhur ratusan tahun lalu, ke tiga kekuatan tersebut harus menjangkung dan Melindungi Mataram.

Namun sangat disayangkan, ke tiga titik kekuatan tersebut semua telah dilupakan pihak Mataram, dan hanya beberapa orang desa atau mereka yang mendarah daging saja yang masih memakai tata cara Leluhur tersebut. Kami yang tetap mengingat perjanjian sacral itu sangat terpukul dengan ditinggalkannya Budaya dan Tradisi yang sebetulnya harus di hargai dan dilestarikan. Karena, walau bagaimanapun dalam kosmologi masyarakat jawa, ke tiga titik tersebut tidak boleh dilepas, dan harus di rumat sesuai dengan adapt dan tradisi nenek moyang. Sesungguhnya hal itulah yang bakal membuat ketentraman di setiap sudut tanah Mataram ini.

Selain tujuh tumpeng, ada beberapa jenis lagi yang dipersiapkan untuk dilarung dan di labuh, yakni 3 sanggan pisang Raja, 3 tambir buah segar, 3 tambir jajan pasar, 2 tambir bunga setaman yang ditata rapi, 3 ekor kepala-kulit-ekor dan kaki kambing kendit, 3 ayam Cemani, 3 ekor Angsa Putih, 3 ekor Bebek putih, 3 ekor Burung Perkutut pilihan, 3 ekor burung Merpati, 3 ekor ayam tulak dan seperangkat pakaian berwarna hijau serba sutra serta kain panjang. Semuanya di labuh(dibuang kelaut)

Untuk melaksanakan acara tersebut mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Acara tersebut memakan dana sebesar Rp.25.000.000. Mahalnya biaya dikarenakan persyaratan yang ada memang agak sulit di dapat. Ironisnya, mereka yang memiliki bahan yang dibutuhkan untuk acara, justeru cenderung memanfaatkan untuk mengambil keuntungan yang lebih. Padahal upacara tersebut jelas untuk kepentingan masyarakat banyak. Yakni upaya menyelamatkan masyarakat dari bencana dan musibah yang lebih besar.

Secara naluri kemanusiaan, sudah semestinya kita saling bahu membahu agar acara ritual dan do’a bersama dapat berjalan dan membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Bukan malah sebaliknya, mereka justeru mengambil kesempatan dan memakai ‘aiji mumpung’, mumpung barang-barang tersebut dibutuhkan sehingga mereka memasang harga tinggi. Seperti halnya harga kambing kendit, Ayam Cemani dan kebutuhan lainnya, mereka yang kebetulan memiliki hewan tersebut mematok harga yang demikian mahal. Sekali lagi, padahal itu untuk kepentingan ritual yang bertujuan untuk keselamatan masyarakat. Sungguh na’if jika kita hanya melulu memikirkan tentang materi.

Walau demikian, Bunda Lia dengan sabar, kebutuhan itu tetap saja dibeli untuk memenuhi sarat lengkapnya ritual. Hal ini mengingat kesemuanya adalah untuk menyelamatkan masyarakat Mataram – Yogyakarta dan pulau Jawa.

Semua yang Bunda Lia lakukan bersama Ibu Idham Samawi (istri Bupati Bantul) adalah upacara untuk menumbali tanah Jawa agar tidak terjadi bencana lagi baik gempa, badai, tsunami dll, Allahumma, Amin. Acara dilaksanakan pada malam Selasa Kliwon Tgl.31 Juli 2006 agar

Mengapa ritual dengan adat dan tradisi jawa harus dilakukan ? Kita harus sadar antara do’a dan tradisi memiliki ikatan yang erat bahkan seperti dua mata pedang yang tidak bisa di pisahkan. Betapa tidak, tradisi atau tata cara merupakan suatu ‘kendaraan’ untuk sampainya suatu keinginan dalam memohon. Sementara kesakralan dapat di jadikan sebagai kekusyukan kita dalam berdo’a. Karenanya, tradisi ritual merupakan tradisi sacral yang tidak boleh di tinggalkan. Terlebih pada masyarakat Jawa, karena hal demikian dapat menciptakan suatu keseimbangan baik bagi manusia selaku jagad cilik maupun alam yang merupakan jagad raya atau jagad besar yang kesemuanya itu sudah di titipkan oleh sang maha kuasa kepada manusia dan mahluk lain sebagai penghuni alam ini.

Ini sudah menjadi suatu hal yang jelas, dimana Tuhan sang maha pencipta yang juga maha kuasa telah menitipkan atau memberi kuasa untuk meruat dan merawat segala isi bumi kepada para penghuninya. Manusia salah satu penghuni bumi yang memiliki akal dan budui pekerti, tentu memiliki tradisi atau tata cara dalam meruwat dan merawat alam ini. Seperti halnya tradisi sacral yang kami laksanakan, itu merupakan suatu tata cara yang sudah turun temurun dilakukan oleh para leluhur. Bahkan bagi kami, ritual yang demikian harus dilakukan dan tidak bisa di tawar-tawar lagi. Disamping sebagai upaya pelestarian budaya dan tradisi, upacara tersebut juga menjadi pemicu kekhusyukan dalam berdo’a memohon kepada Sang Pencipta.

Ini terbukti ketika kami melakukan ritual, kami selalu di beri isyaroh atau petunjuk apa yang bakal terjadi, dan harus bagaimana menghadapi hal yang akan terjadi. Bahkan kami pun di beri gambaran untuk mereda bencana yang bakal terjadi.

Seperti halnya Ritual yang baru saja kami gelar, kami diberikan pertanda akan terjadi kembali bencana di beberapa tempat, dan kami juga diberikan petunjuk apa yang harus kami lakukan agar musibah urung terjadi.

Berkaitan dengan akan terjadinya lagi bencana alam di beberapa wilayah, saya tidak berani mengutarakan, karena saya takut terjadi kesalah pahaman. Namun yang jelas kami terus berupaya dan mengajak segenap masyarakat tetap waspada dan memohon kepada Tuhan agar bencana yang sudah menjadi ‘suratan’ alam dapat berubah menjadi ketentraman dan keselamatan. Amin Allahuma Amin.

Sekali lagi saya sampaikan, dunia akan terus mengalami bencana alam sepanjang lima musim. Untuk Indonesia masih akan terus mengalami bencana sampai pada akhir tahun 2007. Ma’af, ini bukan merupakan ramalan, melainkan petunjuk atau isaroh ghoib yang kami tangkap.

Demikian pula tanah jawa, wilayah Mataram pada khususnya, setelah kami melakukan labuhan “Tumbal Mataram dan Tanah Jawa” bukan berarti akan lolos dari bencana alam dengan begitu saja. Karena Jauh sebelumnya tanah mataram terkait dengan satu perjanjian sacral yang mau tidak mau pihak Mataram harus mematuhi perjanjian tersebut. Dari isi perjanjian tersebut diantaranya adalah harus menjunjung tinggi adat, budaya dan tradisi yang sudah dilakukan secara turun temurun. Jujur saya katakan, saat ini Mataram tengah dilanda krisis budaya dan tradisi, musibah dan bencana alam yang terjadi beberapa waktu lalu, hanyalah sebagai peringatan agar Mataram kembali kepada adat dan tradisi nenek moyang yang saat ini telah dilupakan. “Pangling kepada diri sendiri, itu yang menjadi permasalahan serius dan sacral bagi Mataram”.


23 July 2006

Songgo Buwono Bicara : Ramalan yang Naif dan penyusupan Budaya

Beberapa waktu lalu, di saat masyarakat merasa resah karena takut daerahnya dilanda bencana alam yang datang tak diduga-duga seperti yang terjadi di Jogjakarta, Klaten, Sidoarjo,Sulawesi dan sebagainya, beberapa supranatural justeru menambah kegundahan masyarakat. Seperti Permadi dan Mama Lorent yang memprediksikan bencana lebih dazat akan kembali melanda belahan bumi pertiwi ini.
Permadi mengatakan, Jakarta akan terapung, demikian pula Mama Lorent meramalkan Madura akan tenggelam. Sebagai supranatural, saya sangat mengecam pernyataan ke dua orang tersebut. Seorang supranatural hendaknya diam (tidak mengekspos) ketika dia mengetahui prahara apa yang bakal terjadi. Sebaliknya, ketika dia mengeluarkan pernyataan demikian, dia juga harus bisa menerangkan bagaimana cara mengantisipasinya. Kalau tidak bisa, lebih baik diam..., sehingga tidak meresahkan masyarakat. Karena memprediksikan prahara buruk, bisa menjadi do’a atau harapan musibah itu akan terjadi. Sungguh perbuatan naif jika seseorang mengucap sumpah agar peristiwa buruk terjadi.
Ada sebab, tentu ada akibat. Demikian pula supranatural yang menyatakan akan terjadinya prahara, sudah semestinya dia tau sebab terjadinya prahara itu. Dan dia juga mengerti bagaimana cara mengantisipasinya. Seharusnya upaya mengantisipasi itulah yang harus di kedepankan.
“Bisa membuka, harus bisa menutup. Bisa memprediksikan, juga harus bisa melakukan antisipasi, itu baru supranatural sejati”.
Di saat seperti ini, masyarakat butuh ketenangan, bukan keresahan atau ketakutan, ingat rasa trauma masih ada dihati kenapa justru Spiritual terkenal, ternama, justru membuat hati orang tidak tenang? Apakah pernyataan itu pantas dipublikasikan sehingga membuat keresahan dan ketidak tenangan beraktifitas sehari – hari dan membuat gamang para penentu kebijakkan terutama rakyat miskin yang jiwanya masih trauma dengan peristiwa gempa maupun tsunami. Hendaknya kita sebagai supranatural maupun spiritual memiliki hati nurani seperti samodra! Jangan seperti api yang membuat terbakarnya suasana! Milikilah rasa dan jiwa sebagai orang tua yang bijaksana dan menjadi panutan! Jangan takabur dalam bersikap. Sebagai panutan/spiritual lebih baik banyak berdoa agar musibah tidak berkepanjangan. Jangan jadikan ‘musim’ bencana dijadikan ajang lomba kepiawaian meramal dan menentukan. Naif dan tabu!


Disatu sisi kita sedang dilanda gejolaknya alam, sementara RUU – APP turut andil memperkeruh suasana. Sadarkah mereka akan adanya adat, tradisi dan budaya sebagai akar Bangsa? Apa mungkin adat leluhur kita akan terhapus?
Negara ini sedang dilanda krisis budaya dan krisis tradisi. Budaya adalah akar bangsa, sementara tradisi menjadi kembangnya Negeri. Wajar jika krisis bencana tersebut terjadi. Sejak ratusan tahun silam negeri ini di jajah oleh budaya luar dan sampai detik ini mereka masih menjajahnya. Sadarkah kita, fahamkah kita? Duri bersemayam didalam daging Negara kita!
Mengapa demikian ? jawabannya adalah, karena Budaya Nusantara yang di selimuti Bhineka Tunggal Ika merupakan kekuatan hakiki yang dapat mempertahankan keutuhan negeri ini. “Keanekaragaman tidak bisa di seragamkan. Keanekaragaman kultur, adat dan budaya hanya bisa disatukan”.
Lambang dan Dasar Negara telah pupus seperti telah kita lepas secara perlahan. Apakah itu namanya Tanggung Jawab?
Menurut hemat saya, Rancangan Undang-Undang Pornografi dan Porno Aksi (RUU-APP) menjurus kepada penyeragaman budaya, yang kemudian membelenggu, bahkan mematikan ekspresi Budaya dan Tradisi asal. Lebih ekstrim lagi saya katakana, RUU-APP merupakan upaya ‘penyusupan’ kultur baru yang akan mematikan karakter bangsa Indonesia.
Saya yakin, masyarakat tau betul tentang batas-batas pornografi dan porno aksi, batasan-batasan tersebut sangatlah subyektif dan tidak bisa di seragamkan. Katakanlah seseorang telah melakukan porno aksi pada waktu dan tempat yang salah, pelaku bisa dikenakan pasal pelecehan, atau pasal perbuatan tidak menyenangkan yang sudah di atur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Mengapa permasalahan seperti itu harus membias sampai kepada spesifikasi aturan, sementara peraturan yang lain sudah mencakup untuk permasalahan tersebut ? Hal itulah yang kemudian kami mengatakan kalau RUU-APP sebagai upaya ‘penyusupan’ untuk mematikan karakter.
Tidak munafik. Kita tidak mungkin menolak masuknya budaya asing. Namun kita harus menolak jika hal baru yang kemudian mematikan kultur budaya asal yang sudah ada sebagai adat dan Budaya.
Agama sebagai isi dari jiwa dan rasa jangan dibuat senjata untuk menghapuskan adat dan budaya yang sudah mengakar setiap daerah yang ada di Negara kita beberapa ratus tahun yang silam, tidak mungkin akan kita hapus begitu saja.
Ingat, nenek moyang kita dan leluhur kita, sebagai pewaris kita harus mempertahankan budaya dan tradisi leluhur. Jika kita ingin selamat jangan lupakan tradisi leluhur!
Garis besarnya dengan alasan di atas Songgo Buwono menolak dengan adanya RUU – APP. Sebaliknya, kami merasa salut dengan TNI. Sebagai organisasi tersolid menyatakan kembali ke Pancasila dan UUD 45. Dengan sikap TNI yang demikian, berarti TNI telah menilai bahwa UUD 45 dan Pancasila sudah dikhianati oleh pihak lain. Allahuma Amin

13 July 2006

Duh Gusti, Merapi – Pantai Selatan, issue Tsunami jadi ajang ambisi...

Ada perkembangan menarik bila mencermati krisis Merapi belakangan ini. Bukan fenomena fisis letusannya, yang merupakan otoritas Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, tetapi maraknya klaim di antara paranormal bahwa dirinyalah yang meredam ‘amuk’ Merapi. Terlepas benar atau salah, klaim semacam itu tidak layak muncul dari kalangan yang menyelami dunia ‘batin’, dunia yang semestinya jauh dari pamrih duniawi—ketenaran, nama besar, atau materi. Namun itulah faktanya. Ditambah lagi peristiwa gempa melanda, semakin terseretlah akhlak manusia menjadikan Bumi sebagai lahan bisnis sekaligus ajang untuk menggelar dan memuaskan egoismenya yang picik. Mencari kesempatan disaat rakyat kecil menahan derita karena bencana yang menimpa.
Manusia telah lupa akan jati dirinya, zaman sudah edan.Sehingga Bunda Lia (35), and I’m thankful pit pimpinan Sanggar Sopranatural Songgo Buwono Parang tritis Yogyakarta berkomentar
“Fayaa khaira mas’uulin wa akrama man’athaa.Wayaa khaira makmuulin ilaa ummatin khalat” (Wahai Dzat sebaik-baik yang bertanggung jawab, dan semulia-mulia Dzat yang memberi. Wahai sebaik-baik Dzat yang melepaskan apa yang diharapkan umat manusia)

Belum reda kekawatiran tentang Gempa yang melanda Kala Sudra/ Rakyat jelata kini pada hari Rabo (12/7) pukul.19.30 terjadi fenomena baru rakyat kecil yang masih trauma dengan bencana gempa tampak kawatir dengan adanya garis lengkung putih di angkasa dan setelah beberapa lama tibul 5 garis lurus yang mungkin terlepas dari pengamatan ilmuwan atau spiritual sehingga timbullah pendapat yang simpang siur dicerna baik dari kalangan ilmuwan maupun spiritual, kini Bunda Lia berpendapat bahwa Garis melingkar setengah lingkaran tersebut adalah satu pertanda dari Yang Maha Kuasa agar manusia ingat akan jati dirinya. Dan jangan melupakan Budaya Jawa yang telah tersisihkan terutama Tradisi sebagai Sentana Mataram mesti mengingat kembali karena tradisi nenek moyang adalah akar dari berdirinya satu Kerajaan atau Kraton tidak boleh dilupakan/ditinggalkan begitu saja.

Selain itu bila kita cermati garis lengkung tersebut dari arah Laut Selatan hingga ke puncak Merapi dan tepat Pukul.02.05 ada bola api dari Laut Selatan meluncur kencang kearah utara tepatnya Merapi.
Bunda Lia menghimbau kepada seluruh Masyarakat baik dari lingkungan Merapi ataupun sekitarnya harap waspada dan berhati-hati. Dan untuk masyarakat yang terkena gempa hendaknya menjaga kesehatanya terutama yang masih berada di tenda karena wabah penyakit akan menimpa kala sudra. 5 garis lurus seperti anak panah di dalam Gendewa, Bencana demi bencana akan terus melanda Dunia sampai 5 musim dan bencana tersebut tidak akan dapat kami duga sebelumnya Maha Suci Engkau Ya Allah....
Selain bencana kita akan menghadapi Prahara Gupito yang diperbuat oleh Pembesar, dan imbasnya pada Rakyat Jelata. Belum lagi kita menghadapi Kalatida yang nantinya akan lebih menakutkan.

Garis membentang namun berbentuk setengah lingkaran, berujung dari Selatan dan mengarah ke Utara tepatnya Timurpun juga kena, jadi menurut kaca mata batin Bunda Lia dulunya alas Mentaok menjadi wujut Keraton Pajang Surakarta sebelumnya di garis lurus dengan tanda serupa oleh Sang Pencipta dan garis lurus tersebut ada diujung gunung atas Tembayat Klaten,namanya Gunung Gambar dulunya, dan waktu sekarang ini sudah terbelah menjadi 2 pertanda tanah Jawa Mataram pecah menjadi 2 yaitu Surakarta dan Yogyakarta.

Sedang garis yang kita hadapi sekarang ini adalah garis lengkung pangkalnya dari Laut Selatan pertanda Manusia diberi suatu peringatan sareh/sabar, eling, lan, waspodho (hati sabar,ingat pada YME, dan waspada) dan ingat pada para Leluhur yang Babat tanah Jawa. Sedang ujung dari garis lengkung menuju puncak Merapi, Merapi adalah Gunung, dalam cerita wayang Gunungan/kekayon jagat pakeliran adalah Goro-goro, manusia akan tertimpa goro-goro dan berujut Galengan/Garis.

Dalam waktu 7 sampai 21 hari terhitung hari ini harap HATI_HATI dengan Gempa yang lebih dazat akan menimpa Jawa Barat tepatnya Pangandaran dan sekitarnya. Dan berdampak keseluruh kawasan pantai Selatan. Harapan Bunda Lia yang berada di pesisir Pantai Selatan dan Nelayan atau pencari ikan harap agak menjauh.
Garis dilangit adalah milik Sang Pencipta berarti garisnya zaman dan kita menghadapi satu ketentuan yaitu akan menghadapi garisnya zaman Kolotida/ Kolotidho, Mongso sat, jurang kemiskinan Bangsa dan Masyarakat semakin dalam, Tebing kesengsaraan akan semakin merata melanda Rakyat Indonesia. Menungso sudho kari separo, manusia berkurang tinggal separoh, karena tanpa diduga bencana dan penyakit datangnya tidak kita sadari. Dan disini Bunda Lia berkeyakinan pasti ada gunung yang terbelah 2 dengan tanda semacam ini tapi Bunda tidak mengatakan gunung apa, yang pasti akan terjadi hal yang serupa dengan Pajang.

Sedang garis yang berjumlah 5 adalah menandakan bahwa kita mengalami bencana demi bencana dan wabah penyakit datang tanpa kita duga sampai 5 musim, yaitu 5 tahun lamanya, dan bencana ini akan menyeluruh melanda Dunia bukan Indonesia saja, sedangkan Bulan dilangit tepat saat ada tanda garis, Bulan yang semula terang juga tidak luput dari tanda YME Bulanpun dikelilingi Kabut putih bersih menandakan bahwa tanah Jawa masih diayomi para Leluhur apa bila kita mengingat akan Budaya dan Tradisi lama.
Karena kita harus memasuki zaman aman baru tapi memakai tradisi lama.

Untuk menyikapi masalah yang kita hadapi ini Bunda Lia mengajak seluruh Masyarakat turut berdo’a untuk ikut membantu agar Ritual yang akan digelar pada tgl.21 Juli 2006 oleh Bunda Lia tepatnya di Pantai Parang Kusumo Yogyakarta akan berhasil sesuai harapan yang kita inginkan bersama agar dijauhkan dari bencana yang berkepanjangan nantinya.
Mari kita sama-sama ber Do’a agar diberi ketabahan hati. Dan tidak berputus-asa dari rahmat Allah. Kepada seluruh Masyarakat, Bunda Lia mengajak untuk senantiasa istighfar seraya berserah diri kepadaNya. Allah juga yang kelak menunjukkan keadilan sejati dalam masalah ini. Sabar dan tawakal, kalau pun hanya sebesar zarrah, sumbangsih dan jasa pembesarpun tentu tak akan luput dari perhitunganNya. “Fayaa khaira mas’uulin wa akrama man’athaa. Wayaa khaira makmuulin ilaa ummatin khalat”
(Wahai Dzat sebaik–baik yang bertanggung jawab, dan semulia-mulia Dzat yang memberi. Wahai sebaik–baik Dzat yang melepaskan apa yang diharapkan umat manusia.)
Sudah cukup berat dan melelahkan beban derita kita sebagai rakyat kecil penghujung pasca demi pasca bencana. Tak perlu kita tambah dengan segala perbuatan dosa dengan membabi buta.

Sekarang kita menghadapi Kalatida.
‘Alaa maa tarum haqqan yarauna biqadhabin, bihaqqi tanaawin yauma zahmin tazaakamat” (Terhadap perkara yang Engkau rencanakan, mereka mengetahui dengan Asma Allah yang Mahamenang atas perkaraNya. Dengan hakNya Dzat yang menghitung pada hari kiamat yang berdesak–desak.) Manusia tak luput dari salah dan dosa, sengaja maupun tidak. Tak ada manfaatnya, mencari-cari celah kesalahan orang lain. Sudahkah diri ini bersih dari dosa dan noda?
Betapa sedikitnya bekal yang kita bawa saat menghadapi maut. “Bada’ tu bi bismillaahi ruuhii bihihtadat. Ilaa kasyfi asraarin bibaathinihin thawat”.(Kuawali dengan menyebut Asma Allah. Dengan demikian jiwaku memperoleh petunjuk semua yang terkandung di dalam AsmaNya.)


▫ ▫ ▫,

Di tengah kondisi negeri yang sangat memprihatinkan, berbagai prahara menimpa kita semua. Tanpa disadari, seluruh elemen bangsa telah terimbas hasutan dan fitnah. Tak peduli ras, suku, golongan dan agama. Kerusuhan dan anarkhisme merebak di mana-mana, memperdalam keterpurukan bangsa ini. Ekonomi kita semakin hancur. Sadarkah kita akan semua ini? Kelaparan akibat gizi buruk yang menimpa tunas bangsa sudah jadi kenyataan, penyakit–penyakit aneh membayangi kehidupan kita, bencana alam datang silih berganti. “Kamaahin biaahin ma’awaahin jamii’ha. Bihasykaakhi hasykaakhin kauunin takawwanat.” (Ya Rabbi, yang Mahamenghidupi dengan Dzat yang menguasai, yang Mahatinggi di antara segala yang ada.)

Mari kita jaga bumi pertiwi agar aman, tenteram, tanpa ada perselisihan hanya karena salah paham. Jauhi provokasi, fitnah dan hasutan agar dapat membenahi ekonomi bangsa dan menyantuni saudara kita yang miskin. Mari menjaga dan merawat bumi kita tercinta. “Naruddu bikal a’daa-a min kulli wijhatin. Wabil ismi narmiihim minalbu’di bisysyatat” (Dengan AsmaMu kami menolak musuh dari segala penjuru, dan dengan AsmaMu kami menepis mereka dari kejauhan agar tercerai–berai.)

Ingat…, kita sedang mengalami prahara Kalasudra dan Gupita. Kalasudra bala’nya rakyat jelata, dan Gupita karena ulah manusia sendiri, sehingga bencana demi bencana dan aksi kekerasan merebak di mana–mana. “Abaariikhu bairuukhin wayabruukhu wayabruukhu barkhawaa. Syamaariikhu syiiraakhin syaruukhin tasyammakhat” (Dzat yang Mahatahu, yang Mahaadil, yang Mahamulia, yang Memuliakan, yang Mengembalikan, yang Dekat, yang Mengetahui semua yang samar.) HATI- HATI MERAPI AKAN MENAGIH JANJI DALAM WAKTU DEKAT DIIRINGI PANTAI SELATAN.

Andra/Prasetyo
Sanggar Supranatural Songgo Buwono

28 May 2006

Menyikapi Merapi dengan Kearifan

Dalam suatu ritual di kawasan pantai Parangkusumo – Parangtritis, Yogyakarta, sekitar November tahun lalu, kami sempat menangkap suatu isyarat lewat penglihatan mata batin “agar kita berhati-hati dalam tahun 2006/2007, terutama dalam bulan April dan Mei, karena kemungkinan bakal terjadi bencana alam.” Bencana akibat ulah manusia itu menurut istilah kami prahara Gupita.

Itulah yang kini terjadi. Melalui sejumlah media masa, kami sampaikan hal itu sebagai bentuk keprihatinan pada masyarakat. Kepada pihak otoritas pemerintah pun, melalui surat pribadi, kami sampaikan hal yang sama. Harapan kami, kita semua menyadari, betapa selama ini kita telah melampaui batas. Terutama terhadap sesama dan lingkungan hidup kita. Sudah terlalu lama kita hanyut dan tenggelam dalam kecanggihan zaman serba-edan ini, hingga lupa jatidiri kita sebagai orang Jawa.

Terkait situasi Merapi yang kini dinyatakan dalam status awas, sejak awal telah kami sampaikan bahwa—kalau saja pemahaman atas isyarat yang kami peroleh benar, Merapi belum akan meletus dalam skala yang dahsyat, sebagaimana kita bayangkan. Dan itu sesuai dengan karakteristik letusan gunung api ini. Namun disesalkan, banyak pihak yang berlebihan menanggapinya sehingga muncul ketidakpastian di masyarakat. Warga sekitar Merapi pun sebagian panik, lainnya tak peduli dan tetap melakukan aktivitas mereka. Kemudian diberitakan ada kalangan supranaturalis yang bahkan berani memastikan, hari ‘anu’ dan tanggal ‘sekian’ Merapi akan meletus. Menurut hemat kami ini sudah di luar wilayah supranaturalis. Terkesan arogan, mendahului kehendak Yang Mahakuasa.

Ada lagi yang mengatakan, “bila Gunung Merapi meletus, harta bangsa Indonesia akan muncul, berupa emas lantakan – dollar – rupiah, dan seterusnya”. Naudzu billahi min dzalik. Mengapa hati dan pikiran kita menjadi demikian gelap, dibutakan kerakusan akan harta-benda? Tak syak lagi, harta dan kekuasaan telah merajai sebagian manusia. Sungguh tidak rasional, gunung “menyimpan emas batangan dan timbunan uang kertas”. Harta berlimpah? Memang benar, gunung - hutan dan bumi menyimpan kekayaan tak ternilai bila kita mengelolanya secara bijak! Namun sebagian manusia menjadikan bumi, dan apa yang ada padanya, sebagai lahan bisnis sekaligus ajang untuk menggelar dan memuaskan egoismenya yang picik.

● ● ●


Ketika seluruh perhatian terlena oleh Merapi, laksana menyambut layaknya ‘hajatan’, tiba-tiba bencana lebih dahsyat datang tanpa diduga. Seolah alam ingin mempermalukan kita, meledek kesombongan dan keangkara-murkaan kita.
Bencana gempa bumi melanda Yogya dan sekitarnya, dengan tingkat kehancuran fisik/materi dan korban manusia dalam jumlah yang sungguh luar biasa. Coba bandingkan dengan kemungkinan jatuhnya korban akibat Merapi!

Padahal, jauh sebelumnya Bunda Lia telah mengingatkan tengara/sasmita bencana ini, yang ditangkapnya saat menjelang pergantian tahun yang lalu (Ritual Suran, sekitar Maret 2006). Demikian pula, saat meminta petunjuk sebelum naik ke Merapi dan sesudahnya pun diperoleh isyarat serupa. Namun apa yang terjadi? Kita malah terseret dalam silang pendapat dan berebut ketenaran tentang siapa yang telah peduli pada krisis Merapi. Sementara Bunda Lia bersama anggotanya—yang secara diam-diam tanpa pamrih popularitas dengan menghadang segala risiko bahaya, langsung mendaki ke sana meredam gejolak, justru tidak pernah disebut-sebut.

Menyikapi bencana terakhir ini (gempa Yogya), Bunda Lia berniat menggelar kembali Laku-Ritual, dari Merapi hingga Pantai Selatan, dengan tujuan meredakan dampaknya agar tidak membawa korban lebih besar. Pada kesempatan ini Bunda Lia mengimbau seluruh lapisan masyarakat untuk tetap waspada dalam waktu sepekan ini. Dengan segenap kekuatan dan kemampuan yang dikaruniakanNya, kita berusaha. Bi idznillah wa bi nashrillah, dengan izin dan pertolongan Allah.

● ● ●

Sang Pencipta mengamanahkan alam ini kepada manusia sebagai hunian sementara, yang harus dirawat, dipelihara dan dijaga kelestariannya demi kepentingan manusia sendiri. Bukan sekadar diambil manfaatnya tanpa batas hingga rusak dan mengakibatkan bencana. Inilah Kalasudra, bencana yang menimpa rakyat jelata akibat tingkah-polah ‘orang besar’.

Sementara itu, masih terkait krisis Merapi, telah terjadi silang pendapat di antara pihak-pihak yang merasa pantas mengeluarkan pendapat. Terkesan berebut kebenaran, menurut versi masing-masing. Sebagai supranaturalis, kami hanya sebatas menyampaikan sasmita. Sama sekali bukan kapasitas kami untuk menentukan—apalagi menghalangi—kebijakan yang menyangkut penanganan masalah bencana. Namun menurut hemat kami, selain faktor keselamatan masyarakat, pihak mana pun tidak selayaknya memanfaatkan krisis belakangan ini sebagai dalih untuk mencapai tujuan atau agenda tersamar lainnya. Bukan pula arena untuk meraih nama dan kemasyhuran. Sungguh akan melegakan semua pihak bila kita bisa menahan diri, tidak gegabah melontarkan tanggapan yang memojokkan pihak lain. Syukur-syukur tercapai saling pengertian dan kesepahaman di antara semua pihak sehingga masyarakat tidak terombang-ambing.

● ● ●

Mari kita jaga kelestarian lingkungan di sekitar Merapi. Selain kita jaga, syukuri Merapi yang perkasa sebagai karuniaNya. Sekali pun tampak angkuh, tak akan menyemburkan awan pijar yang membawa korban. Asal kita tahu diri, tak melupakan tatakrama dan adab sebagai sesama makhlukNya.
Jangan perlakukan Merapi sebagai arena meraih ketenaran, apalagi sebagai ‘ajang bisnis’ untuk meraup keuntungan pribadi! “Merapi” akan lebih murka nantinya!

Tidak percaya? Buktikan saja bila saatnya tiba!
Atau mau cepat bukti Merapi meletus? Teruskan saja kegiatan yang membabi buta dan berlomba mencari keuntungan! Naudzu billahi min dzalik.
Apalah arti nama besar dan tumpukan harta? Kalau hanya menyuburkan angkara murka dan mengundang bencana? Membuat masyarakat dan rakyat menderita?
Bukankah ini salah satu makna isyarah yang kita terima? Kalasudra dan Prahara Gupita. Subhanallah! Manusia telah lupa jati dirinya. Jangan lupa dan tetap waspada di mongso pitu atau JULI, karena akan terjadi tsunami tapi daerah mana Allahhu Alam. Pesan Bunda Lia dengan nada yang optimis,

Kalau Merapi ‘batuk-batuk’, itu wajar karena sudah ciri khas gunung api satu ini. Karena itu, selayaknya kita sikapi fenomena krisis Merapi secara arif. Berdoa bersama memohon kepada Yang Mahakuasa agar Merapi tidak menjadi bencana bagi kita. Silakan mengambil sebesar-besar manfaat, namun tetap bijak dalam mengelola. Hentikan penggunaan alat berat—backhoe misalnya, secara berlebihan sehingga melampaui daya dukung lingkungan. Ingat kasus longsor penambangan pasir di Citatah – Nyalindung, Bandung.

28 April 2006

Labuhan Tolak Bala Merapi

Seperti diberitakan sebelumnya, Lia Hermin Putri, Pimpinan Sanggar Supranatural Songgo Buwono, benar-benar menggelar ritual Labuhan di Merapi pada Selasa (25/4) lalu, justru ketika gunung ini diprediksikan akan meletus hanya dalam hitungan hari. Bertempat di kediaman Mbah Marijan, Juru Kunci Merapi, Lia membuka ritual dengan doa bersama yang diikuti anggota Songgo Buwono dan masyarakat setempat. Sejumlah pengamat budaya lokal maupun mancanegara tampak hadir menyaksikan upacara adat ini.

Mengenai kelengkapan ritual kali ini, 21 tumpeng dan perangkat sesaji lainnya, Bunda Lia menerangkan sekilas. Duapuluh satu tumpeng itu meliputi 7 jenis yang terdiri atas 3 rakit tumpeng: Tumpeng Agung, Tumpeng Kendit, Tumpeng Robyong, Tumpeng Slamet, Tumpeng Tulak, Tumpeng Rasul, dan Tumpeng Songgo Buwono. Perangkat sesaji lainnya buah-buahan segar, Pisang Sanggan, Jajan Pasar, Seribu Bunga, seperangkat pakaian. Masih ada lagi kambing kendit, ayam tulak dan ayam putih mulus.

Tujuh tumpeng diarak untuk dilabuh di Sri Manganti, suatu lokasi yang disakralkan di lereng Merapi, selebihnya dibagikan kepada warga. Usai persembahan tumpeng dan perangkat sesaji, Lia menuju tempat ritual khusus di “Paseban Labuhan” Kraton, yang jauhnya satu jam perjalanan kaki dari Sri Manganti ke arah puncak Merapi.

Ritual berlangsung tiga malam dua hari. Malam pertama, Mbah Marijan sempat mengiringi laku tirakat ini, sedang malam-malam berikutnya Lia hanya didampingi dua anggotanya secara bergantian. Menjelang Jumat subuh (28/4), ritual diakhiri dengan rasa syukur kepada Tuhan dan rombongan Songgo Buwono pun turun menuju rumah sang Juru Kunci.

Masih dengan wajah sedikit kuyu lantaran kurang tidur, Lia mengungkapkan pengalamannya selama melakukan ritual.

“Lewat tengah malam terakhir, saya seperti masuk sebuah lorong sempit yang lembab dan gelap. Semacam gua yang dasarnya tergenang air. Hawa di dalam sana sangat dingin, hingga tubuh saya menggigil dan bergetar hebat” kata Lia memberi gambaran. “Mendekati ujung lorong, cahaya merah meramong tampak di hadapan. Sambil tertatih-tatih, saya sampai juga di mulut gua. Ternyata, itu sebuah gunung yang puncaknya membara.”

“Masih terpukau dengan penglihatan saya, tiba-tiba muncul seekor binatang besar. Berbulu lebat, warnanya coklat keabu-abuan. Seekor orangutan raksasa, atau gorila” ujar Lia dengan mimik serius. “Dia menghampiri saya, memeluk saya, dan tangannya menunjuk-nunjuk ke suatu arah. Seakan dituntun, pandangan saya pun mengikutinya. Tiga pucuk anak panah berikut gandewa terpampang di sana. Wujud gandewa-gandewa itu, yang di sebelah kiri tak ubahnya mainan anak-anak yang dicat warna-warni. Yang di tengah seperti barang kuno, nampak jelek tapi terawat. Sedang terakhir, di sebelah kanan, gandewa-nya penuh ukiran yang sangat elok. Seperti milik Arjuna, satria Pandawa itu. Lalu, tanpa ragu saya mengambil gandewa jelek dan anak panahnya yang di tengah. Anehnya, melihat pilihan saya itu, dia—ya gorila tadi, malah melonjak-lonjak dan bertepuk tangan kegirangan. Di tangan saya, benda itu berubah wujud menjadi seuntai biji-biji tasbih terbuat dari batu mata kucing dan giok (jade). Saya ciumi biji-biji tasbih itu. Ketika sadar, binatang tadi sudah raib dari pandangan. Tapi tasbih tetap di tangan saya.”


Mendapat Petunjuk

Setelah kejadian di atas, dengan tasbih yang didapatnya, Lia kembali melanjutkan bacaan wirid-nya. Tenggelam dalam lantunan kalam ilahi, “Salaam(un). Qaulam mir rabbir rahiim”, dalam duduk heningnya di malam Jumat Kliwon itu, Lia beroleh petunjuk: “Wis Ngger, mudhuna anggonmu tapa. Saiki lagi mangsane para kawula kataman kalasudra. Coba waspadakna polahe manungsa kang padha nggege mangsa ing Arga Mrapi iki …” (“Sudahlah Nak, hentikan semadimu. Sekarang ini rakyat jelata sedang tertimpa musibah. Perhatikan tingkah-polah manusia-manusia yang diburu nafsu di Gunung Merapi ini, mereka mengharap sesuatu sebelum tiba masanya …”)

Dalam penglihatan batin Bunda Lia, gejolak Merapi yang kini berlangsung merupakan peringatan dari Yang Mahakuasa agar manusia menghentikan tingkah lakunya yang melampaui batas. Pada kasus Merapi, juga kawasan-kawasan lain di tanah air, kita saksikan alam telah tereksploitasi melampaui daya dukungnya.

Menanggapi pernyataan sebagian supranaturalis, bahwa Merapi akan meletus pada malam Jumat Kliwon lalu, Lia sangat menyayangkannya. “Sungguh tabu, memastikan kapan datangnya suatu musibah atau keberuntungan. Apalagi membesar-besarkan sesuatu yang belum tentu terjadi, hanya menambah ruwet persoalan. Lebih baik kita berdoa bersama, mohon ampunan-Nya serta dijauhkan dari murka-Nya. Di “tangan”-Nya jua segala kepastian berada.”

Lereng Merapi
Jumat Kliwon, 28 April 2006

25 April 2006

Merapi belum akan meletus

Sejak awal bulan ini, kabar akan meletusnya gunung Merapi semakin santer. Namun berita tersebut dibantah keras Lia Hermin Putri, pimpinan Sanggar Supranatural Songgo Buwono, Parangtritis Bantul, Yogyakarta. Menurut Bunda Lia (panggilan akrab Lia Hermin Putri), berdasar isyarah yang diterimanya, Merapi tidak akan meletus dalam waktu dekat ini. Ditambahkannya, Merapi baru akan meletus bersamaan dengan meluapnya Bengawan Solo. “Hal itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat, karena kita baru masuk dalam kurun prahara gupita, belum sampai pada prahara Kalatidha.


Lebih jauh Bunda Lia menerangkan, prahara gupita adalah prahara yang berhubungan dengan perilaku makhluk hidup, terutama manusia yang memiliki sifat nggégé mangsa (mengharapkan sesuatu di luar musimnya). Sedangkan yang terjadi pada gunung Merapi bukan termasuk kategori gupita, melainkan siklus alami yang sifatnya periodik. Terkait dengan Merapi, Bunda Lia berpendapat, gunung tersebut mempunyai karakter khas dengan letusan-letusan kecil yang cukup sering namun tidak membawa dampak terlalu membahayakan. Ibarat manusia yang sedang mengalami demam dan batuk-batuk. Tingginya frekuensi letusan-letusan kecil tersebut memperkecil peluang letusan berskala dahsyat.


“Merapi baru akan meletus kelak bila tiba waktunya prahara kalatidha“ tegas Bunda. “Dan belum tentu dalam lima tahun ke depan akan meletus secara dahsyat.”


Sebagai seorang supranaturalis, pimpinan Songgo Buwono ini berupaya menghambat datangnya prahara Kalatidha yang sangat nggegirisi itu, dengan menggelar ritual khusus di kawasan Merapi. Seiring upaya tersebut, Bunda Lia mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk bersama-sama memohon kepada sang Pencipta agar kita semua terhindar dari marabahaya. Ritual khusus yang rencananya akan diselenggarakan selama tiga hari itu akan dilakukan bersama Mbah Marijan, juru kunci Merapi yang tinggal di dusun Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman - Yogyakarta. Ritual tersebut akan dibuka dengan menyediakan sesaji ubarampé, mulai dari tumpeng sebanyak 21 rakit, kambing kendit, ayam Cemani, pisang sanggan, hingga aneka buah-buahan. Selain acara yang sifatnya ritual, Bunda Lia juga akan melakukan duduk hening (semadi, red) selama tiga hari tiga malam, 25 - 27 April 2006 ini, di Batu Dampit, persis di bahu gunung Merapi.

Untuk membantu doa dan kekhusyukan ritual yang akan dijalankan, para anggota Songgo Buwono ikut mengiringi namun hanya diizinkan melakukannya di lereng gunung, jauh dari lokasi ritual Bunda Lia. “Untuk menghindari risiko yang tidak diinginkan,” paparnya.


Ditanya tentang kekhawatiran masyarakat akan meletusnya gunung Merapi, Lia Hermin Putri menjawab tegas, “Saya tidak terlalu khawatir, karena tidak ada isyarah yang menunjukkan Merapi akan meletus. Kalau pun ada, ya itu tadi …, hanya letusan-letusan kecil yang tidak berbahaya” ujarnya dengan nada optimis. Lia juga menambahkan, ritual tolak bala Merapi ini merupakan bagian dari rangkaian acara Ruwat Bumi Pertiwi, yang juga diprakarsai Sanggar Supranatural pimpinannya. Upacara adat tradisional ini menurut rencana akan dilaksanakan sekitar Agustus mendatang.


Terkait dengan meningkatnya aktivitas Merapi beberapa hari terakhir, masyarakat dan pihak otoritas pemerintah saat ini lebih khawatir terhadap bahaya guguran awan pijar, wedhus gèmbèl, dan aliran lava dari puncak Merapi. Tentang wedhus gèmbèl, Bunda Lia menjelaskan, dengan cara apapun wedhus gèmbèl tidak dapat dicegah, karena memang sudah ciri khas Merapi. Untuk menghindarinya, hendaknya manusia memahami bahasa alam yang ada di gunung tersebut. “Kita tidak bisa melawan alam, yang dapat kita lakukan hanya menghindar dengan cara memahami bahasa dan isyaratnya.” Bunda Lia berpesan, jangan kita mendahului Kehendak Yang Mahakuasa, ada baiknya pihak pemerintah lebih bijaksana, dan tidak terburu-buru memberikan informasi yang dapat mengganggu ketenangan masyarakat.


“Boleh jadi Merapi tidak akan meletus dahsyat dalam waktu dekat, namun kita tetap tidak boleh meninggalkan kewaspadaan. Kalau 2011 nanti, kemungkinan Merapi bakal mengalami goncangan dan letusan, walau tak sedahsyat letusan 1994” kata Bunda Lia menutup paparannya.

Parangtritis
25 April 2006

27 March 2006

Seminar sehari 27 Maret 2006Sambutan Bunda Lia Hermin Putri

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,
Salam sejahtera bagi kita semua,
Para Tamu Undangan yang kami hormati . . .,
Sebelumnya kami sampaikan penghargaan setinggi-tingginya, atas waktu yang telah Bapak/Ibu luangkan untuk menghadiri pertemuan ini. Sungguh kami sadari, undangan ini demikian mendadak sehingga tentu saja mengacaukan agenda kegiatan Bapak/Ibu. Pada acara seminar sehari ini.Pada tgl.27 Maret 2006.
Namun kami yakin, keprihatinan dan kepedulian kita terhadap persoalan yang dihadapi bangsa ini, akan mampu menyisihkan waktu dan kepentingan lainnya.
Syukur alhamdulillah, Yang Mahakuasa pun berkenan mengizinkan kita bertemu dan berkumpul di sini, pada hari ini.

Banyak yang menyesalkan, mengapa undangan mendadak sekali sehingga para tokoh tidak dapat hadir di tengah–tengah kita. Memang kita berharap, tapi informasi dan waktu juga yang menjadi kendala. Untuk itu, kami mohon maaf atas lambatnya undangan yang kami sampaikan.
Pada kesempatan ini pula, kami mohon maaf kepada pihak-pihak yang seharusnya pantas dan layak hadir di sini, namun terlewat dari undangan kami. Bukan maksud kami sengaja mengabaikan, tetapi semata-mata karena keterbatasan informasi yang kami miliki.

Hadirin yang kami muliakan . . .,

Keprihatinan bersama atas kondisi bangsa Indonesia saat ini, telah menumbuhkan kesadaran kolektif seluruh elemen bangsa untuk bangkit dari keterpurukan, lepas dari bayang-bayang perpecahan.

Namun dari mana kita akan memulai?
Apa langkah awal yang harus ditempuh?
Lepas dari keberhasilan atau kegagalannya, berbagai jalan telah kita upayakan.

Di bidang kebudayaan, misalnya, kita saksikan kegairahan masyarakat dalam mengekspresikan adat-istiadat dan tradisi lokal mereka. Dari berbagai latar belakang budaya, yang sifatnya lokal-kedaerahan, masing-masing tampil dengan segala pernak-pernik keindahan dan keanggunannya.
Suatu pemandangan yang selama tiga dekade sebelumnya nyaris mustahil kita jumpai.
Semua itu menyadarkan kita, bahwa Adat dan Budaya adalah akar Bangsa yang mesti kita junjung tinggi, kita banggakan, dan kita lestarikan.

Tegakah kita melihat, membiarkan Adat dan Budaya kita tercabik-cabik oleh budaya luar?
Mari kita renungkan adat ketimuran yang hampir luntur. Pergaulan bebas, budaya luar, obat terlarang, minuman keras telah meraja-lela merasuki Anak Bangsa.

Sementara itu, pada saat bersamaan masih kita saksikan kekerasan di mana-mana. Konflik antar-kelompok di masyarakat, pemaksaan kehendak dengan dalih menegakkan kebenaran dan keadilan, masih saja terjadi.
Juga musibah bencana alam yang beruntun menimpa saudara-saudara kita di berbagai pelosok negeri tercinta, menambah deretan kepedihan kita. Seolah bangsa ini belum akan lepas dari derita berkepanjangan .Bumi Pertiwi ini sedang menangis mari kita Ruwat segera agar tidak terjadi Bencana yang berkepanjangan karena keterpurukan budaya yang telah lama kita lalaikan, bila kita tetap dalam keadaan begini buktikan saja apa yang akan bakal terjadi di thn.2006 menjelang 2007 dan bencana itu akan mulai datang di bulan April – Mei 2006. Tidak percaya buktikan !

Sudah menjadi watak manusia, baik ketika mendapat kedudukan atau tidak, selalu merasa kurang puas dan kecewa hatinya.
Sifat angkara murka masih berkuasa.

Semua itu adalah kesalahan sendiri, karena tidak melihat musimnya. Bila kita perhatikan dengan pandangan mata batin, sungguh aneh ulah manusia. Yang jujur, yang dusta hatinya, dapat diketahui dari satu firasat – dari namik. Namun tidak setiap orang mampu, kecuali yang telah terbuka untuk dunia gaib. Paham terhadap rasa, serta ingat akan safi’i di masa lalu, tetapi lebih rumit ceritanya, budi pekertinya telah tampak pada zaman lain. Banyak orang memahami bahasa dan kehidupan bangsa lain, hingga tidak memahami dan menguasai bahasa sendiri. Adat ketimuran hampir punah karena pengaruh bangsa lain.

Kebudayaan adalah inti yang harus diambil agar dapat menambah budi yang kuat. Mari kita pertimbangkan bersama demi kebaikan. Aturlah rakyat dengan baik, yang mengolah bumi, yang dapat dijadikan tanda atau tengara ‘gemah ripah loh jinawi’. Keutamaan laku dalam memimpin negeri atau bangsa harus tahu kewajibannya, berwibawa tutur katanya—Sabda pandhita ratu. Lakukan napak tilas moyang kita, jangan lupakan tradisi dan adat kebudayaan kita.

Contohnya, semua jiwa sentana Mataram harus kembali pada jati dirinya sebagai ‘orang Jawa’. Harus mau hidup rukun dengan sesama, terutama dengan trah Mataram itu sendiri. Harus tahu peran dan fungsinya sebagai ‘trahing kusuma – rembesing madu’. Baik kebetulan diri sebagai pejabat atau raja, atau mungkin rakyat biasa. Namun kita harus sadar, pendiri Mataram yang akan datang sudah menyiapkan segala sesuatunya untuk Mataram di masa depan atau “Mataram Binangun”.

Bumi Nusantara kemungkinan masih akan terus-menerus kacau, penuh dengan pertentangan. Ujian pun akan semakin berat, kecuali Mataram Binangun terwujud sesuai dengan keinginan moyang kita. Sudah saatnya, kita mulai menyambung benang merah yang hampir putus, mengumpulkan tulang berserakan.


□ □ □

Hadirin sekalian . . .,

Dengan segala keterbatasan dan kekurangan, kami memberanikan diri mengetengahkan gagasan RUWAT BUMI PERTIWI ini sebagai langkah awal. Sebagai batu pijak untuk membuka simpul keruwetan yang kita hadapi.

Kami akui, ide ini tidak sepenuhnya berasal dari kami sendiri.
Sekadar contoh, kami merasa terilhami gagasan seorang tokoh, maaf tak perlu kami sebut siapa, yang pernah melontarkan wacana “tobat nasional” menjelang masa reformasi, hampir sepuluh tahun lalu.
Sayang sekali, gagasan arif yang oleh pencetusnya dimaksudkan sebagai wacana menuju rekonsiliasi nasional itu mendapat tanggapan dan reaksi yang kurang proporsional. Kita lebih mempersoalkan istilah, ketimbang makna.

Kembali pada RUWAT BUMI PERTIWI, kami maksudkan sebagai langkah awal memaknai kembali pandangan (atau persepsi) dan perlakuan kita pada bumi dan segala isinya, sebagai bentuk tanggung jawab atas amanah yang telah kita terima.
Makmurkan bumi tempat kita berpijak, dan jangan buat kerusakan di atasnya.
Sudahkah kita renungkan, bahwa selama ini perbuatan kita masih jauh dari pesan yang terkandung dalam amanah tersebut?
Seperti terkandung dalam tema Ruwat Bumi Pertiwi ini,

REKONSILIASI NASIONAL MELALUI BUDAYA:
mamasuh malaning bumi – mangasah mingising budi

yang secara harfiah berarti

membasuh lukanya bumi – mengasah tajamnya budi.

Kita bersihkan bumi pertiwi dari noda dan luka yang kita buat—seraya melunakkan budi dan pekerti kita yang masih diwarnai kebengisan dan kekejaman.

Namun sudah selayaknya kita sadari. Sebagai manusia biasa, tanpa izin Sang Pencipta, mana mungkin kita mampu meruwat Bumi Pertiwi ini. Hanya pertolongan dan kemurahanNya jua yang menjadi sandaran kita.

Maka mari kita bersatu dan bergandeng tangan, tanpa meman-dang Ras – Agama dan Golongan, untuk berdoa bersama memohon ampunan atas dosa dan kesalahan, baik sengaja maupun tidak. Semoga Allah SWT mencurahkan kasih-NYA terhadap kita semua sehingga bumi ini aman. Terhindar dari segala bala’ dan bencana, kekacauan dan keangkara-murkaan. Kita bersihkan mental spiritual kita.

Sebagai supranatural, kami mohon kesediaan semua yang hadir maupun belum dapat hadir, untuk membantu kami turut prihatin mewujudkan cita–cita kita melalui Ruwat Bumi Pertiwi ini. Kepada kalangan spiritualis, mari kita berpegang pada kebenaran dan kejujuran.

Hadirin yang kami muliakan . . .,

Perjalanan kami belumlah apa–apa, dan jujur saja sebagai pencetus acara ini, kami masih mempunyai banyak kekurangan dan membutuhkan sumbang saran serta nasehat untuk langkah selanjutnya. Mustahil kami dapat melaksanakan ini semua dalam kesendirian. Maka kami mohon keikhlasan, ketulusan dan waktu pada Bapak/Ibu, juga para Tokoh yang tidak dapat hadir dalam Seminar ini, untuk bersama-sama membawa acara ini sampai titik yang kita harapkan.

Akhir kata, kami hanya bisa mengantar acara ini dengan penuh harap pada rasa kebersamaan dan kepedulian kita. Semoga langkah awal kita pada hari ini mendapat bimbingan dan kekuatan dari Yang Mahakuasa. Amin.

Billahit taufiq wal hidayah
Wal hamdulillahi rabbil ‘alamin
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Ucapan Terima Kasih
kepada
1. Bapak Drs. H. Idham Samawi, selaku Pelindung, beserta jajaran Pemkab. Bantul yang telah bermurah hati menyediakan tempat dan seluruh fasilitasnya.
2. Bapak Prof. DR. Damardjati Supadjar, sebagai Narasumber Tamu, yang selalu mendampingi selama persiapan hingga akhir acara.
3. Didik Nini Thowok Entertainment, yang telah menyemarakkan acara ini.
4. Semua pihak, yang tidak mungkin disebut satu persatu, yang berpartisipasi menyukseskan acara ini, sejak awal gagasan hingga pelaksanaannya.